Minggu, 14 Mei 2017

My Friend Is My Love


Dia, ya dia yang sangat manis dan anggun dengan kerajinannya selama ini. Dia dikagumi oleh banyak orang. Bahkan, tidak jarang seseorang memiliki perasaan yang lebih padanya. Dia adalah Afanin, mahasiswa fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang.
Dia, ya dia yang sangat manis dan anggun dengan kerajinannya selama ini. Dia dikagumi oleh banyak orang. Bahkan, tidak jarang seseorang memiliki perasaan yang lebih padanya. Dia adalah Afanin, mahasiswa fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang.
Afanin adalah putri yang elok nan ayu. Dia rajin, rapi, cerdas, dewasa, cantik dan juga calon penjaga wahyu Allah SWT. Dia tipikal orang yang kalem, tak banyak ulah dan pandai dalam mengatur waktu. Akan tetapi, dia memiliki satu kelemahan yang tentu sangat mengganggunya, yakni tidak mudah bersosial. Dia mudah saja mendapatkan banyak teman dan bisa akrab dengan temannya, tetapi itu tak bertahan lama. Hal tersebut terjadi karena sikap cuek dan acuhnya. Walaupun demikian, dia bukan orang yang mudah putus asa dan gampang menyerah dari situasi yang menyulitkan. Dia tetap berusaha untuk menutupi kekurangannya dengan berpura-pura menjalin keakraban dengan teman-teman di sekitarnya. Walaupun pada dasarnya mereka tak dekat, hanya teman biasa.
Di balik keceriaan dan senyum yang mengembang di bibirnya, terdapat luka yang amat sangat. Luka yang terkadang membuat semangatnya luntur, membuatnya sedih dan bahkan sampai membuatnya menangis sejadi-jadinya dikala ia tengah bermunajat kepada Ilahi Rabbi. Teman-teman di sampingnya mungkin tak pernah tahu. Sebab, ia bukan sosok orang yang suka berbagi kesedihan dengan orang lain. Sebisa mungkin ia tampil ceria dan tak terlihat murung, agar teman-teman di sekitarnya tak ikut sedih melihatnya. Kalaupun ia terlihat murung, mungkin tak banyak teman yang care dan respect padanya.
Afanin orang yang sangat sabar, tabah dan tegar dalam menjalani kehidupannya. Ia tak pernah memiliki dendam pada orang yang telah mengejeknya, membencinya, memusuhinya dan yang selalu berkata buruk tentangnya. Ia hanya bisa diam dikala orang mambicarakan hal buruk yang dapat mencoreng nama baiknya. Ia hanya bisa bersabar dan tetap bersifat baik pada orang tersebut. Sifat dan sikap yang dimiliki Afanin inilah yang membuat para pemuda takjub dan kagum padanya. Kepolosan dan kekalemannya yang menjadikan teman-teman putranya merasa enjoy dan nyaman di dekatnya, walaupun terkadang ada yang sungkan padanya. Oleh sebab itulah, Afanin lebih banyak bergaul dengan teman putra daripada teman putrinya.
“Cowok itu kalau diajak ngomong bisa langsung mengarah. Dia pun bisa bersikap lebih dewasa. Anin lebih nyaman ngobrol atau curhat dengan temen-temen cowok daripada cewek. Sebab, pernah Anin curhat dengan teman cewek tapi hasilnya gak ada sehari berita itu sudah tersebar ke mana-mana. Gak lagi deh curhat sama temen cewek, rata-rata ember dan gak perhatian” katanya. Afanin lebih nyaman melakukan berbagai aktivitas dengan teman putranya. Selain dapat bersikap dewasa, teman putra cenderung perhatian. Terkadang juga bisa memberikan solusi yang dapat memecahkan masalah yang tengah dihadapi. Sebab kedekatan Afanin dengan teman putranya, banyak teman-teman putri yang justru menganggapnya playgirl, genit, suka cari perhatian, manja dan masih banyak hal negatif lainnya. Afanin tak menghiraukan perkataan temennya, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana agar tetap bisa berhubungan baik dengan teman-teman putrinya yang cenderung sensitif, selalu su’udzon, masih kekanak-kanakan, suka pilih-pilih teman dan sayangnya Afanin bukan teman yang mereka pilih. Sungguh kasihan Afanin ini, putri malang yang tentunya ada canda, tawa, sedih, senang, susah yang menghiasi kehidupannya.
Dikala senja menyapa, lantunan suara yang begitu syahdu terdengar dari jendela kamar Afanin. Afanin membaca al-Qur’an dengan sangat fashih. Suaranya sangat merdu dan membuat hati orang yang mendengarnya jadi tenang. Teman sekamar Afanin di pondok pesantren Tahsin al-Qur’an, Husna, sedang khusyuk menyimak hafalan Afanin. Mereka berdua memang sahabat, tetapi Husna tak begitu terbuka dengan Afanin, terkadang masih ada hal-hal yang disembunyikan Husna dari Afanin. Padahal, Afanin selalu bersikap terbuka dengan Husna, tak ada hal apapun yang disembunyikan oleh Afanin.
“Shodaqallahu al-‘Adzim” Afanin mengakhiri sima’annya bersama Husna. “Husna, sudah pukul berapa sekarang?” Husna melihat jam tangannya. “Sudah jam 4, ana siap-siap berangkat kuliah ya Nin. Takut terlambat” “Iya, Na. Jangan sampai terlambat ya…” “Oke, Nin.” Anin tak ada kuliah hari Jum’at. Jadi, ia manfaatkan waktu liburnya mulai dari hari Jum’at hingga Ahad untuk menambah dan murajaah hafalan al-Qur’an. Ia membuka-buka buku tugasnya. Di dalam terdapat tulisan kaligrafi yang ia tulis. Tulisan kaligrafi tersebut merupakan sebuah nama, tepatnya nama salah satu teman putra sepondoknya, Mughni Labib.
“Munghni Labib, nama yang bagus. Sebagus orangnya, cerdas lagi. Sangat sempurna. Beruntung Anin mempunyai teman sepertinya, yang bisa diajak sharing, dimintai tolong, diskusi bareng. Seneng deh kalau semua temen Anin kayak Labib semua. Ah, jelas tidak akan mungkin. Dunia dan kehidupan ini berwarna-warni, tentunya ada banyak orang yang beragam jenisnya” Afanin berkata sembari melihat tulisan kaligrafinya. Ia pun senyum-senyum sendiri. “Astaghfirullah Anin, apa yang sedang kamu pikirkan. Kamu dan Labib baru kenal, iya kalau Labib sama seperti apa yang kamu pikirkan. Kalau tidak bagaimana?” ia pun kemudian menutup bukunya dan beranjak dari kamar menuju Musholla, yang menjadi batasan antara pondok putri dengan pondok putra. Afanin paling suka menambah dan atau murajaah hafalan di dalam musholla. Sebab, ia merasakan ketenangan saat berada di musholla. Dia juga mengatakan kalau sedang ngafalin di musholla akan cepat hafal.
Tak lama kemudian, salah satu santri putra datang dan masuk ke musholla. Santri tersebut tak lain adalah Adib, teman sekelas Afanin di jurusan Ilmu Falak fakultas Syariah. “Eh Anin, lagi sendirian aja” sapa Adib. Anin hanya menoleh dan tak merespon sapaan Adib. Ia masih khusyuk murajaah hafalan yang telah didapatnya. “Ih si Anin, cuek amat yah ama Adib” “Adib, ente tahu kalau ana lagi baca Qur’an. Masih aja mengganggu ana” “Sorry deh, bukan maksud ana mengganggu Anin. Ana cuman nyapa kok. Hanya saja Anin gak merespon. Ya sudahlah kalau begitu” Adib sedikit kesal dengan Afanin yang tidak peka dengan perhatian yang selama ini Adib berikan. Adib cukup tahu kalau Afanin itu cuek, sangat cuek. Akan tetapi, ia masih saja mengaharap sesuatu yang menurutnya tidak akan pernah terjadi. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Afanin, Adib memendam rasa yang lebih dari sekedar teman atau sahabat. Walaupun belum lama kenal, tapi Adib sudah memahami bagaimana seluk beluk Afanin. Adib sudah banyak mengetahui kelebihan dan kekurangan Afanin. Yap, cinta sejati adalah di mana seseorang mencintai orang lain, sedangkan ia sudah mengetahui segala kekurangan dan kelebihan orang yang dicintainya. “Maaf, Adib. Ente gak salah kok, Dib. Ana yang salah, sudah keterlaluan begini”. “Tak apa kok, Nin. Ana paham, pasti ente merasa keganggu. Baiklah, ana akan pergi. Assalamu’alaikum”. “Eh Adib, ente gak ganggu kok. Di sini aja, ana malah seneng kalau ada temennya. Biar gak suntuk juga” kata Afanin sembari menyunggingkan senyum manisnya. “Baiklah, Afanin”. “Kok sendirian aja, Dib?” Adib memandangi wajah Afanin yang manis. “Iya nih, lagi pada sibuk semua. Tadi ada Labib di kamar sedang santai, ana ajak ke musholla. Katanya nanti sih mau nyusul, tapi entah jadi atau tidak” Afanin mengangguk, dalam hatinya berkata, ‘Labib mau nyusul Adib ke sini, kok ana jadi gemetar gini yah. Aduh Anin, tata nafasmu. Jangan sampai terlihat gugup di depan Labib. Nanti terjadi salah paham lagi’. “Emang si Labib hari ini gak ada kuliah apa?” “Ada, cuma jam pertama tadi. Sekarang kan udah selesai. Jadi langsung pulang pondok deh. Tahu sendiri lah Labib orangnya kayak gimana, paling gak suka keluyuran” “Aduh Adib, ente juga aneh. Bagus kan kalau gak suka keluyuran. Sebab, kata yang ente ucapkan tadi tuh mengandung arti negatif. Ada-ada saja ente, Dib” Afanin ketawa terlepas saat itu. Adib yang melihatnya begitu senang nan gembira. Ia senang karena telah berhasil membuat Afanin ketawa seperti itu. Afanin terlihat semakin cantik, karena ada lesung pipit yang menghias di pipi putihnya.
Tiba-tiba, “Assalamu’alaikum” ya, Labib datang untuk menyusul Adib. “Wa’alaikumussalam” jawab Afanin dan Adib secara bersamaan. “Eh Labib, datang juga. Ana pikir ente gak bakal datang ke sini” “Datanglah, kan ana tadi udah bilang bakal nyusul. Ganggu gak nih, kalian berdua sepertinya sedang asyik” “Gak ganggu lah, Labib” kata Adib menjelaskan. “Serius gah nih? Beneran gak nih, Afanin?”. ‘Deg’ jantung Afanin serasa mau copot saat namanya disebut oleh Labib, orang yang sangat ia kagumi. “Tidaklah, malah bagus kalau ada ente di sini. Biar gak ada salah paham. Nanti dikira ana berduaan sama Adib lagi, bisa tamat kan riwayat ana. Bisa-bisa dikeluarin dari sini” mereka bertiga tertawa bersama. Afanin sangat bahagia, tampak jelas kebahagiaan ia di wajahnya.
“Eh Nin, tugas ente kemaren gimana?” “Alhamdulillah, udah selesai presentasi kok. Thanks ya untuk semua bantuannya. Ana jadi gak enak nih, maaf sudah merepotkan dan menyita waktu ente, Labib” “It’s oke lah, santai aja. Tidak usah sungkan. Kalau butuh bantuan tinggal ngomong aja. Kalau ana bisa bantu, akan ana bantu. Kalau tidak, nanti bisa didiskusikan bagaimana caranya. Nah, kalau ada masalah pun begitu. Tidak usah dipendam, malah nyesek di hati nanti. Mending dibicarakan dan dicarikan solusinya biar cepat selesai deh tu masalah. Kalau sama ana gak usah sungkan, Nin. Alhamdulillah ana terbuka kok dan ana siap mengulurkan tangan bagi siapapun yang membutuhkan bantuan ana” Afanin menganggukkan kepala, ia mengerti dengan apa yang dikatakan Labib. ‘Subhanallah, bijak sekali ente Labib. Ente benar-benar bijak dan sangat baik hati. Padahal, ana bukan siapa-siapa ente. Kenal pun baru-baru ini. Labib, mungkin ente orang yang dikirim oleh Allah sebagai perantara untuk membantu semua perkara ana. Ana benar-benar beruntung’ batinnya.
Suatu hari, Afanin tak sengaja berpapasan dengan Labib di jalan sewaktu ia akan pergi ke kampus. “Afanin, ente mau kuliah?” “Gak kok, ini mau lihat bazar buku di samping masjid kampus dua. Pengen cari-cari buku” “Ente sendirian, Nin?” “Iya nih, tadi Husna ana ajak gak mau. Lagi sakit perut kayaknya” Labib mengangguk. “Boleh ana temenin? Mumpung ana juga udah selesai kuliah” ya, Labib adalah senior Afanin di jurusan Ilmu Falak fakultas syariah UIN Walisongo Semarang. Oleh sebab itulah, Afanin lumayan dekat dengan Labib. Mereka berdua sering diskusi bersama untuk membahas perihal mata kuliah di jurusan Ilmu Falak. Karena Labib adalah senior Afanin, ia sering mengarahkan Afanin, membantunya dan terkadang ia tak segan-segan untuk meminjamkan buku miliknya kepada Afanin. “Boleh Kak, mari!” kata Afanin mengajak. “Kok dipanggil kak lagi sih, Nin. Ana kan udah pernah bilang, jangan panggil ana dengan sebutan kakak. Panggil nama aja. Kemaren-kemaren juga udah bisa kok” Labib emang tidak suka dipanggil ‘Kak’. Ia lebih enjoy dan senang dipanggil nama saja tanpa embel-embel apapun. Tak peduli itu senior maupun yuniornya. “Aduh, ana gak enak. Masak ana manggil ente cuma nama aja. Ente kan senior ana, tidak sopan rasanya” “Ini bukan masalah rasa, Anin. Tinggal dipanggil nama aja, tidak usah pakai rasa. Ana gak suka dipanggil dengan embel-embel, karena ana gak ingin ada sekat dengan orang yang menjadi teman ana. So, biar bebas gitu dalam berteman. Asal gak bebas juga dalam pergaulan sih” mereka tertawa. “Oke deh, Labib. Walaupun berat hati ini, tapi oke deh ana turuti permintaan ente” “Nah, gitu kan enak didengar” mereka sampai di bazaar buku. “Ente ingin beli buku apa, Nin?” “Entahlah, lihat-lihat dulu aja. Barangkali ada yang tepat di hati ana” Afanin sibuk memilah-milah buku. Ia belum jua menemukan buku yang akan ia beli. ‘Asyik juga ngobrol dengan ente, Nin. Ente selalu ceria, gak suka mengeluh, memiliki semangat yang tinggi, pintar lagi. Ana senang bisa berteman dengan ente, Nin. Hidup ana juga lebih ceria dari biasanya. Thanks Nin, udah buat hari-hari ana menjadi have fun dari sebelumnya. Thanks ente udah buat hari ana jadi lebih berwarna’ batin Labib. Ia melihat Afanin yang sedang sibuk mencari buku. Afanin sadar kalau sedari tadi ia diperhatikan oleh Labib. ‘Aduh, Labib kenapa melihat ana sampai segitunya ya. Apa ada yang salah dengan tampilan ana. Ah, sepertinya tidak, ana tampil seperti biasanya kok. Tetap biasa-biasa saja, tidak ada yang terlihat mencolok. Haduh, jadi semakin grogi deh ana. Ayo lah Labib, lepas pandangan ente dari ana. Ana jadi takut’. Afanin melanjutkan pencarian bukunya. Ia berusaha untuk tidak mempedulikan pandangan Labib kepadanya yang terlihat begitu tajam.
‘Astaghfirullah, kenapa ana jadi ngelamunin Afanin. Apa yang sedang terjadi pada ana, Tuhan. Mengapa ana tak tampak seperti biasanya semenjak Afanin hadir dalam hidup ana’. “Labib, menurut ente buku ini bagus gak?” tanyanya sembari menunjukkan buku yang ia bawa pada Labib. “La Tahzan. Ente suka baca novel, Nin?” “Bukan suka juga sih, Bib. Cumin suka sastra, dan asyik buat karya sastra.” Labib mengangguk, “Jadi ente suka nih buat novel dan sejenisnya” “Begitulah, kalau ada waktu luang ana pakai untuk nulis” “Wah, hebat ente. Kira-kira kisah ente sendiri atau gak nih?” “Ya, tergantung Bib. Kalau lagi pengen nulis tentang ana sendiri, ya ana tulis tentang ana. Terkadang ana juga mengamati lingkungan sekitar. Kalau ada hal menarik, ya ana tulis” “Udah banyak nih tulisan ente, Nin?” “Gak banyak juga sih, Bib. Hanya beberapa kok” “Boleh gak ana baca? Barangkali nanti kalau benar-benar bagus bisa dibukukan” “Boleh-boleh. Itu cumin untuk koleksi ana sendiri kok, Bib. Kalaupun memang bagus untuk dipublikasikan, ana bersyukur banget malah”
Dua tahun lamanya Afanin dan Labib saling mengenal. Mereka tampak begitu dekat. Saat sedang bersama, burung-burung merpati melihatnya dengan cemburu karena keserasian di antara mereka. Yang satu cantik, satunya lagi tampan. Pun sama-sama pintarnya. Mereka berdua sudah bersinergi sangat baik. Hingga menghasilkan banyak hal yang berniali positif, yang tentunya menguntungkan di antara keduanya, pun bagi teman di sekelilingnya. Sore hari yang indah membuat suasana semakin damai dan membuat dua insan itu merasa nyaman saat sedang duduk berdua di taman kampus. Mereka diam sejenak, tak ada percakapan sama sekali. Mereka membisu dan suasana semakin hening. Labib memecahkan keheningan, “Nin, boleh ana bertanya pada ente?” Afanin mengangguk. Ia masih saja menunduk, tak seperti biasanya. Ia merasakan ada yang salah pada sore itu. Tiba-tiba jantungnya berdegup sangat kencang. “Adakah seseorang yang saat ini mengisi relung hati ente, Nin?” Afanin terkejut mendengar pertanyaan dari Labib. Jantungnya pun semakin kencang berdegup. Ia jadi salah tingkah, terlihat jelas dari perilaku dan gerak-geriknya. “Sejauh ini masih belum ada, Bib. Kenapa ya, kok ente bertanya gitu pada ana” “syukurlah kalau memang belum ada. Ana ingin membuat pernyataan pada ente, Nin. Ana gak ingin menyembunyikan hal ini lagi pada ente. Sebab, semakin lama ana menyimpan rahasia ini, ana akan semakin merasakan sakit. Ana ingin lega dan terbebas dari hati yang terus menjerit nama ente.” “Maksud ente apa sih, Bib? Ana benar-benar gak paham” “Sebenarnya, ana sudah lama memendam rasa ini, Nin. Ana suka sama ente. Ana sangat mencintai ente. Just you in my heart, Nin. Hal taqbaliina qalbiy, ya ukhty? (apakah ente mau menerima cinta ana, Nin?)” Afanin ternganga. Ia tak habis pikir kalau sore ini Labib mengajaknya pergi ke taman untuk menyetakan cinta yang selama ini dipendamnya.
Anin diam, ia masih belum menjawab. Tangannya bergerak, yang menandakan ia sangat gugup. Ia menghembuskan nafas pelan. Sedikit demi sedikit, ia memberanikan diri untuk menatap mata Labib. Ia melihat keseriusan di mata Labib. Pun dari perhatian yang selama ini diberikan pada Afanin sudah sangat menjelaskan kalau ia begitu menyayangi Afanin. “Anin, bisakah ente memberikan jawaban itu pada ana sekarang? Ana ingin mendengar jawaban ente. Entah itu menolak ataupun menerima.” “Baiklah, Bib. Ana akan menjawabnya sekarang” Labib sudah tak sabar menunggu jawaban dari Afanin. Ia sangat berharap Afanin akan menerima cintanya. “Maaf, Bib. Ana gak bisa. Maafkan ana, sekali lagi maafkan ana” Labib tampak lemes dengan jawaban yang diberikan Afanin. Wajahnya tiba-tiba jadi murung dan sedih. Cintanya telah ditolak oleh orang yang selama ini ia bangga-banggakan. Tubuhnya seketika melemas. Ia tertunduk, tanpa ia sadari, air mata menetes dari matanya. Afanin tersenyum, “Hello Labib, jangan lemes gitu lah. Maaf, ana gak bisa menolak cinta ente. Ana juga sangat mencintai ente. Sebenarnya, selama ini sudah ada seseorang yang mengisi relung hati ana, dan orang tersebut adalah ente, Labib.” Labib tersenyum bahagia mendengar pernyataan Afanin. Hampir saja ia memeluk Afanin, tetapi dengan segera Afanin mencegahnya, “Kita belum muhrim, Labib” Labib tertawa, mereka tertawa bersama.
Sore itu adalah kebahagiaan bagi mereka berdua, karena mereka telah mejadi sepasang kekasih yang sangat serasi, yang dapat saling melengkapi kekurangan dari masing-masing. “Baiklah Anin saying, besok kalau ana udah jadi suami sah ente, ente akan ana peluk dengan seerat-eratnya. Tak akan pernah ana lepaskan ente, dan tak akan pernah ana biarkan ente direbut oleh laki-laki lain yang ingin merusak kebahagiaan kita” ketawa mereka semakin lepas. Afanin tak bisa menahan ketawa mendengar kata-kata yang diucapkan Labib. “Anin, tunggu ana. Pada saatnya nanti, ana berjanji akan mempersunting ente. Ana berharap, ente akan menjadi ibu terbaik bagi anak-anak ana nantinya”. Amin.

My Friend Is My Love

Dia, ya dia yang sangat manis dan anggun dengan kerajinannya selama ini. Dia dikagumi oleh banyak orang. Bahkan, tidak jarang seseorang...